Santa Maria   +  wisata

Surabaya #1 : Menyusuri Trotoar Sambil Mengagumi Koleksi Bangunan Tua Yang Masih Terjaga
Kapan terakhir kali kamu berkunjung ke Surabaya? Sebelum minggu lalu, kali terakhir saya mengunjungi kota terbesar kedua di Indonesia ini adalah sekitar 2014 atau 2015. Dulu saya selalu malas bila ada acara di Surabaya, stereotipe kota besar, panas, kotor, berdebu, dan penuh polusi begitu melekat dengan imagenya.

Tapi dengan beberapa pemberitaan tentang kesuksesan Walikota Risma yang mengubah wajah Surabaya, saya jadi penasaran. Sayangnya belum ada kesempatan untuk berkunjung hingga akhir 2018 lalu, seorang teman baik mengabarkan akan menelenggarakan pernikahan di Surabaya. Kesempatan ini langsung saya manfaatkan untuk sekalian mengeksplor kota Surabaya.


Salah satu yang saya masukkan dalam itinerari adalah mencoba trotoarnya yang luas, landai, adem, dan cantik sambil melihat-lihat bangunan-bangunan cagar budaya dari masa kolonial pendudukan Belanda di sepanjang Jl. Tunjungan dan Jl. Suryo. Saya memulai misi ini dengan terlebih da hulu menumpang Grab menuju Gedung Siola dan kemudian melanjutkannya dengan jalan kaki santai selama lebih dari 2.5 jam.






Gedung Siola adalah salah satu gedung berstatus cagar budaya di Kota Surabaya. Gedung ini awalnya adalah toko modern atau supermarket terlengkap dan terbesar saat masa kolonial Belanda. Sebelum akhirnya diambil alih Jepang saat pendudukan Jepang selama 3 tahun lalu kemudian difungsikan kembali sebagai tempat niaga hingga 1998.
Setelah era reformasi, gedung ini sempat kosong, hingga akhirnya beberapa tahun lalu dialihfungsikan oleh Pemerintah Kota Surabaya sebagai kantor dan lantai dasarnya disulap menjadi Museum Kota Surabaya.


Saya tidak masuk ke gedung ini, hanya mengagumi arsitekturnya dari luar, memfoto meriam-meriam kuno dan lokomotif tua yang diletakkan di sisi gedung. Lalu menyusuri trotoarnya sambil memfoto tutuputulitas yang cantik, khas Surabaya dengan logo fasad Gedung Siola, besi cetak bermotif ikon ikan sura dan buaya, dan lain-lain.

Lanjut menyusuri jalan Tunjungan akan ada banyak sekali dijumpai gedung-gedung dan rumah-rumah atau toko-toko lama yang sebagian sudah mendapat emblem kuningan bertulis "Bangunan Cagar Budaya". Mulai dari yang bergaya art-deco, art-nouveou, hingga sedikit sentuhan ukiran gothic pada bagian atas pintu di beberapa gedung.

Di ruas jalan ini jugalah terdapat Hotel Majapahit yang terkenal itu. Hotel ini masa pendudukan bernama Hotel Oranje dan masa pendudukan Jepang berganti nama menjadi Hotel Yamato. Hotel ini adalah saksi sejarah perobekan bendera merah-putih-biru oleh para pejuang kemerdekaan dan arek-arek Suroboyo.