Perdebatan tentang tas KW makin ramai sejak dua hari lalu. Saat sebuah portal berita mengeluarkan headline tentang hukuman 7 tahun bagi yang masih membeli dan memakainya.
Tas KW, menurut saya pribadi adalah barang bajakan. Walaupun ada yang mengatakan benda-benda tersebut adalah asli karena diproduksi oleh produsen yang sama untuk target pasar yang lebih luas. Saya rasa itu hanya opini pembenaran. Hanya gimmick untuk berjuaan.
Bayangkan, mana mungkin sseorang produsen atau desainer atau label yang rela menukar keunggulan kualitasnya demi terjual lebih secara kuantitas. Dan lagipula, saya ambil contoh tas legendaris Birkin keluaran Hermes, yang aslinya seharga minimal $6,000 dan pembeli harus menunggu hingga (minimal) 6 bulan untuk terdaftar dalam waiting list nya akan merelakan membuat tas yang dilabel KW super atau apalah sebutannya seharga kurang dari sejuta rupiah!
Coba hitung, dia harus menjual sekitar 80an tas untuk menandingi pemasukan atas satu tas asli yang terjual! Sungguh tidak masuk akal kan?
Belum lagi runtuhnya citra dan keloyalan pelanggan yang sudah mereka bangun selama puluhan bahkan ratusan tahun!
Orang-orang sering menyalahkan konsumen yang memilih membeli barang KW daripada benda orisinalnya, sementara saya lebih cenderung bertanya-tanya "Apakah mereka tahu apa yang teah atau akan mereka beli?"
Jawabannya mungkin, tidak!
Para penikmat fashion seringkali lebih tertarik dengan kebisingan fashion daripada pengetahuan di dalamnya. Itulah yang membuat mereka memiliki product knowledge yang rendah. Bagi sebagian besar orang label dan luxury good lebih diasosiasikan dengan prestise dan citra.
Maka tak heran bila dengan segala cara mereka ingin menenteng, mengenakan, atau menyandang barang bermerek tanpa peduli asli atau KW.
Bagi mereka yang masuk dalam kategori ini, memiliki barang bajakan yang sangat mirip, bahkan tak mungkin dibedakan awam, seringkali jadi kebanggaan. Ironis.
Tapi di luar pandangan orang awam tersebut, ada beberapa mata jeli yang tersambung dengan otak berwawasan di belakangnya. Para expertise fashion, fashion editor, retailer, dan orang-orang yang nyemplung di bidang ini pasti tahu bila Birkin anda yang indah itu ternyata kombinasi warnanya bahkan tak pernah dibuat oleh rumah mode Hermes. Bahwa Speedy Bag Louis Vuitton anda itu ukurannya tampak lebih besar dari aslinya. Atau yang lebih sahih, saat anda buka untuk mengambil lipstick tak terlihat plat logam ber-nomor seri yang berkilauan di dalamnya.
Tapi apa sepenuhnya salah sang pembeli?
Produsen barang-barang KW ini jelas memiliki andil dalam dunia pembajakan besar-besaran dan kasat mata ini.
Tahun lalu sempat heboh tersiar kabar hasil investigasi bahwa fashion item KW itu yang sebagian diproduksi di China ternyata prosesnya pun cukup "jahat". Mulai dari mempekerjakan pekerja di bawah umur, bahkan anak-anak, mafia yang terorganisir, trafficking, dll.
Kalau anda tahu atau setidaknya mau mencari tahu "cerita" di balik barang KW, mungkin anda akan anti hingga alergi untuk membelinya.
Mindset pembeli yang cenderung "yang penting berkemerk" juga turut andil dalam makin maraknya barang KW di pasaran. Pembuat dan pedagang tentu berharap barangnya laku terjual hingga mencapai sukses secara ekonomi. Hal ini menjadikan lingkaran setan barang KW, karena selalu ada demand maka supply pun lancar.
Padahal dengan uang yang digunakan untuk membeli tas KW yg cukup mahal itu, bis dibelikan tas lain yang mungkin "kalah" merek namun sama dalam kualitas. DI sini dibutuhkan kacamata moral dan rasional untuk menghalau kesilauan akan merek.
Sejujurnya, kalau dilihat, terkadang ada barang KW tersebut yang tak klah bagus dengan brang orisinal. Kualitas kulit nya bagus, craft-manship nya tinggi, kualitas dan kewatetannya juga bagus. Namun hal inilah yang menjadikannya lebih ironis.
Bukankah seharusnya para produsen itu bisa mecipta sebuah fashion item tanpa meniru mentah-mentah produk yang sudah ada?
Lalu kenapa tidak mereka lakukan?
Hal ini mungkin terkait dengan masih perlu ditingkatkannya taste design pengrajin. Sudah berapa kali anda dengar ungkapan "Bagus seh, sayang desain nya kuno!" dari mulut (calon) konsumen tentang barang kerajinan kita? Di sinilah peran pemerintah dirasa perlu. Kementrian, Dekranasda, dan siapapun yang bergerak di sini sebaiknya memasukkan kelemahan ini dalam analisis mereka, sehingga tidak cuma masalah permodalan, pemasaran serta bahan baku yang terus digaungkan.
Selain itu, tampaknya pengrajin dan penjual "kurang pede" menjual barang dengan merek yang masih baru buatan dalam negeri. Mereka masih mengira kurang prospektif. Padahal slogan Cinta Produk Dalam Negeri terus bergema di media.
Lalu bagaimana dengan peraturan ini?
Saya rasa peraturan tetaplah peraturan, bertujuan mulia namun (kadang) "dibuat untuk dilanggar".
Justru barrier terkuat dan mengikat dalam masalah KW ini adalah aturan tentang MALU yang sayang sekali sudah luntur tercuci arus industri dan "modernitas"
Polemik barang KW ini memang bagai lingkaran setan. Butuh kemauan semua yang terlingkup di dalamnya untuk memutus mata rantai panas ini.
Sekali lagi ini opini saya, anda pun bebas memberi opini.