Santa Maria   +  Style

PENANTIAN - Cerpen
PENANTIAN
oleh Juris Bramantyo

“Apa yang kau tunggu?”

Aku menoleh padanya. Ini tolehku yang kesekian kalinya, sama seperti pertanyaan yang dia ajukan; berulang, konsisten. Aku hanya bisa menatapnya, tak tahu harus menjawab apa. Bukan karena tak tahu jawabannya, tapi juga tak tahu cara menjawabnya. 

Aku kembali tertunduk. Dalam benak, kembali kubertanya pada diri sendiri. 

“Kenapa?” 

Tapi jawaban itu susah sekali terkonsentrasi. Seperti partikel-partikel yang mengambang di ruang hampa. Tak ada kemungkinan untuk mereka mampat menyatu dan mengisi rongga jawaban dari pertanyaanu tadi.
Waktu berlalu, lama sekali. Setidaknya itu yang kurasakan. Namun aku takjub dengan kemampuanku untuk terus menunduk. Terus mencari sedikit tarikan gravitasi dalam ruang hampaku.

“Apa yang kau tunggu?”

Sekali lagi aku menoleh. Mataku menatap bibirnya. Bukan karena aku terganggu oleh ucapan yang meluncur melalui dua katup itu, tapi semata karena aku tak kuasa memandang matanya. 

Lagi, kehampaan menyergapku. Seperti pasir hisap yang terus menyerap; kuat, perlahan, tapi pasti. Impuls-impuls dalam jaringan otak ku seperti tak kuasa lagi berloncatan. Lumpuh seketika.

Kehampaan yang lama itu mengaburkan kedekatanku akan waktu. Aku tak tahu lagi berapa lama, tapi yang pasti kusadari diriku telah lagi-lagi menunduk. Sekali lagi aku merasa kecil, rapuh, dan tak mampu menemukan jawaban atas kenapa-nya. 

“Apa yang kau tunggu?”
 
Wajarnya aku sebal menghadapi pertanyaannya yang terus-menerus. Tak bertubu-tubi memang, tapi cukup mengusik seharusnya. Tapi nyatanya aku hanya bisa sekali lagi menoleh kearahnya. Memandang ekspresi wajahnya yang datar; seperti tak ada emosi yang terpahat di sana. 

Sekali lagi coba kurunut jalur menuju jawaban atas pertanyaan konstannya. Dan sekali lagi aku mengalami kebuntuan. Tak tahu harus menyusur lorong yang mana. Semuanya tampak terang benderang bercahaya.

Lama aku memandangi kedua lorong itu. Lama sekali. Hingga akhirnya pandangan ku sudah tak lagi memandang ke depan, tapi ke bawah. Sekali lagi aku sudah menunduk.

“Apa yang kau tunggu?”

Kali ini aku tak sekedar menoleh. Kuimbangi tolehanku dengan bergerak sedikit ke arahnya. Menujunya. Kurasakan desiran hangat menyapu diriku. Entah apa ini, tapi pasti satu yang kurasa. Nyaman.

Dalam kenyamanan yang samar itu aku masih mencari jawaban atas kenapanya. Namun kenyamanan itu seperti membuaiku, mengaburkan tujuan ku. Menghilangkan rasa ingin tahuku. Aku hanya merasa, nyaman. Nyaman. Itu saja.

“Apa yang kau tunggu?”

Sekali ini aku tak sedang menunduk saat kau lontarkan pertanyaan datar itu untuk kesekian kalinya. Aku sedang menatap lurus ke depan. Ke entah apa yang aku tak tahu. 

Lalu kusadari memandang ke depan dan mencari jawaban sepertinya terus membuatku bertatapan dengan kehampaan yang terang benderang itu. Sekali ini kuberanikan diri berbalik arah. Kutelusuri lorong yang meremang. Tujuanku cuma satu, mencari setitik terang dalam semburat rona remang itu. 

Seperti menyelubungiku, keremangan meyakinkanku arah mana yang kutuju. Bersama-sama kami mencari sekelumit sinar terang itu. 

“Apa yang kau tunggu?”

Sekali ini aku menoleh cepat. Tak suka pencarianku terganggu pertanyaannya yang itu-itu saja. Namun aku tak mampu membantah. Tak mampu pula kujawab. 

Aku berpaling, kumasuki lebih dalam keremangan yang berkumpul itu. 

Remang tak lagi meenyelubungiku. Kini menyekapku dalam bayangan kegelapan. Tak kuasa aku berbalik arah. Tak bisa aku meronta. Aku menurut saja, berjalan ke kepekatan kegelapan.

Lalu akhirnya kutemukan lentera. Kecil. Tak juga terang benderang. Namun cukup mencolok di kelamnya kegelapan. 

“Apa yang kau tunggu?” 

Pertanyaannya menyadarkanku dr buaian lentera kecil itu. Kini mantap aku menghadap kepadanya. Dan tiba-tiba jawaban sudah berkumpul di ujung lidahku, bersiap untuk meluncur. 

Lalu kulihat dia tersenyum, sejurus kemudian diriku merasa hangat, nyaman, dan sangat ringan. Lalu dia mendekatiku. Mata kami seperti saling tau saat beradu. 

Ringan yang menguat itu dengan pasti membawaku membumbug tinggi perlahan bersamanya. Kami bergerak naik perlahan beriringan.

Sekali lagi dia tersenyum, kubalas tersenyum. 

Aku pun memandang ke bawah. Kulihat di sana orang-orang dengan muka tegang sedang sibuk mengerubungi diriku. Lelaki dan perempuan-perempuan berseragam putih sibuk menggoncang-goncang tubuhku sambil berhitung mengalahkan suara bip mendengung yang konstan dari alat-alat di sekeliling diriku. 

Di pojok kamar putih itu kulihat mereka menangis. Ayah, Ibu, dan adik ku.

Pemandangan itu tak kusangka begitu melegakan. 

Kini ku bisa menjawab malaikat mautku.
“Aku tak menunggu apapun. Tak lagi menunggu. Aku ikut denganmu.”